Saat ini, mereka yang terinfeksi HIV masih merasa terbatas untuk mengakses sarana dan prasarana kesehatan. Belum lagi penolakan terhadap pasien HIV di sejumlah rumah sakit, sampai penyangkalan hak untuk mendapat pekerjaan yang layak.Kesulitan yang dihadapi oleh sebagian pasien terinfeksi HIV termasuk sering terhentinya ketersediaan dan distribusi obat antiretroviral (ARV). Padahal mereka memerlukan obat ARV setiap hari secara teratur seumur hidupnya.Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melibatkan orang terinfeksi HIV dalam program penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS. Diharapkan mereka dapat memberikan masukan untuk memperbaiki masalah struktural terkait HIV/AIDS.Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006, pelibatan orang terinfeksi HIV sangat penting dalam penanggulangan HIV. Peraturan Presiden tersebut juga menjadi landasan bagi jaringan nasional orang terinfeksi HIV sebagai anggota Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Namun hingga akhir tahun 2006, belum ada jaringan yang dibutuhkan untuk mengisi tempat tersebut.Melalui musyawarah nasional yang berlangsung di Jakarta, barulah pada tanggal 9 Juli 2008, Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) resmi berdiri. JOTHI akan berfungsi meningkatkan upaya pelibatan orang terinfeksi HIV secara lebih bermakna dalam penanggulangan AIDS."Sesuai dengan visi kami yakni penegakan HAM untuk orang yang terinfeksi HIV tanpa stigma dan diskriminasi, maka dapat secara jelas dilihat fokus kegiatan kami adalah melakukan upaya-upaya advokasi dengan adanya perlibatan orang yang terinfeksi HIV secara langsung dan intens," jelas pengurus JOTHI, Iman Permana, di Jakarta, 18 Juli 2008.Salah satu hal yang disoroti oleh JOTHI adalah ketersediaan obat ARV di sarana pelayanan kesehatan. Distribusi dan ketersediaan obat yang tersendat bahkan sempat terjadi kekosongan persediaan, kerap membuat pasien yang terinfeksi HIV menjadi putus berobat.“Jika pasien terlambat mengkonsumsi obat, maka virus HIV akan menjadi resisten (kebal) terhadap obat ARV lini pertama. Konsekuensinya adalah pasien harus mengkonsumsi obat ARV lini kedua yang lebih ampuh namun mahal harganya,” kata Dr. Fonny J. Silfanus, M.Kes selaku Deputi Program Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.Dr. Fonny mengakui bahwa dalam permasalahan ketersediaan obat ARV ini masih diperlukan penataan terhadap sistem procurement (persediaan) dan distribusi. Adapun untuk mengatasi kekosongan obat ARV, idealnya persediaan sudah ada di Dinas Kesehatan Provinsi untuk 6 bulan ke depan, untuk kemudian didistribusikan ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan lain.Menyoal tentang stigma dan diskriminasi yang masih melekat pada orang terinfeksi HIV, Dr. Fonny menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena faktor ketidaktahuan dan ketakutan akan tertular HIV. Di sinilah perlu adanya sosialisasi yang benar tentang penanganan HIV/AIDS dari pemerintah dan segenap elemen masyarakat. “Jika kita berusaha agar tidak takut (terhadap penanganan HIV), maka tidak akan ada lagi diskriminasi (terhadap orang terinfeksi HIV),” ungkap Dr. Fonny.
Sabtu, 22 November 2008
Penaggulangan AIDS
Saat ini, mereka yang terinfeksi HIV masih merasa terbatas untuk mengakses sarana dan prasarana kesehatan. Belum lagi penolakan terhadap pasien HIV di sejumlah rumah sakit, sampai penyangkalan hak untuk mendapat pekerjaan yang layak.Kesulitan yang dihadapi oleh sebagian pasien terinfeksi HIV termasuk sering terhentinya ketersediaan dan distribusi obat antiretroviral (ARV). Padahal mereka memerlukan obat ARV setiap hari secara teratur seumur hidupnya.Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melibatkan orang terinfeksi HIV dalam program penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS. Diharapkan mereka dapat memberikan masukan untuk memperbaiki masalah struktural terkait HIV/AIDS.Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006, pelibatan orang terinfeksi HIV sangat penting dalam penanggulangan HIV. Peraturan Presiden tersebut juga menjadi landasan bagi jaringan nasional orang terinfeksi HIV sebagai anggota Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Namun hingga akhir tahun 2006, belum ada jaringan yang dibutuhkan untuk mengisi tempat tersebut.Melalui musyawarah nasional yang berlangsung di Jakarta, barulah pada tanggal 9 Juli 2008, Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) resmi berdiri. JOTHI akan berfungsi meningkatkan upaya pelibatan orang terinfeksi HIV secara lebih bermakna dalam penanggulangan AIDS."Sesuai dengan visi kami yakni penegakan HAM untuk orang yang terinfeksi HIV tanpa stigma dan diskriminasi, maka dapat secara jelas dilihat fokus kegiatan kami adalah melakukan upaya-upaya advokasi dengan adanya perlibatan orang yang terinfeksi HIV secara langsung dan intens," jelas pengurus JOTHI, Iman Permana, di Jakarta, 18 Juli 2008.Salah satu hal yang disoroti oleh JOTHI adalah ketersediaan obat ARV di sarana pelayanan kesehatan. Distribusi dan ketersediaan obat yang tersendat bahkan sempat terjadi kekosongan persediaan, kerap membuat pasien yang terinfeksi HIV menjadi putus berobat.“Jika pasien terlambat mengkonsumsi obat, maka virus HIV akan menjadi resisten (kebal) terhadap obat ARV lini pertama. Konsekuensinya adalah pasien harus mengkonsumsi obat ARV lini kedua yang lebih ampuh namun mahal harganya,” kata Dr. Fonny J. Silfanus, M.Kes selaku Deputi Program Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.Dr. Fonny mengakui bahwa dalam permasalahan ketersediaan obat ARV ini masih diperlukan penataan terhadap sistem procurement (persediaan) dan distribusi. Adapun untuk mengatasi kekosongan obat ARV, idealnya persediaan sudah ada di Dinas Kesehatan Provinsi untuk 6 bulan ke depan, untuk kemudian didistribusikan ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan lain.Menyoal tentang stigma dan diskriminasi yang masih melekat pada orang terinfeksi HIV, Dr. Fonny menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena faktor ketidaktahuan dan ketakutan akan tertular HIV. Di sinilah perlu adanya sosialisasi yang benar tentang penanganan HIV/AIDS dari pemerintah dan segenap elemen masyarakat. “Jika kita berusaha agar tidak takut (terhadap penanganan HIV), maka tidak akan ada lagi diskriminasi (terhadap orang terinfeksi HIV),” ungkap Dr. Fonny.
Remaja Paling Beresiko Diet Ekstrim
Remaja Paling Beresiko untuk melakukan diet ekstrim?Kenapa??
Remaja umumnya mempunyai kebiasaan makan yang buruk. Mereka biasanya sering makan junk food, fast food, mengikuti diet untuk sekedar iseng-iseng, berhenti makan, dan tidak mendapatkan makanan bergizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Para ahli gizi mengungkapkan bahwa kebiasaan pola makan yang ekstrim seperti itu akan sangat berbahaya. Sebuah survey yang pernah dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyimpulkan bahwa kebiasaan diet ekstrim remaja yang disertai dengan merokok, minum alkohol, obat-obatan, dan seks bebas akan berisiko untuk terkena penyakit seperti kanker, diabetes, dan penyakit jantung. Kebiasaan pola makan remaja yang ekstrim dan tidak teratur juga akan mengakibatkan masalah kesehatan yang serius, bahkan bisa menyebabkan mereka meninggal dunia. Gizi yang seharusnya mereka peroleh untuk pertumbuhan biasanya tidak ada. Diet mereka sangat kurang memperhatikan asupan vitamin dan mineral, khususnya kalsium, zat besi, dan seng. Sedangkan para orang tua tidak bisa selalu mengawasi apa yang mereka makan karena para remaja itu sudah terpengaruh oleh cara makannya. Menurut penelitian yang dimuat Journal of Nutrition Education, anak remaja umumnya menonton lebih dari 100.000 iklan makanan di televisi. Jenis makanan tersebut adalah yang mengandung lemak dan gula tinggi, serta minuman yang terlalu banyak soda sehingga mereka kurang mendapatkan kalsium yang bermanfaat bagi pertumbuhan mereka.Remaja juga cenderung menghindari konsumsi buah dan sayur yang banyak mengandung berbagai zat untuk mencegah penyakit. Sebenarnya apa yang orang tua dapat lakukan melihat kekuatiran seperti ini? Ada beberapa tips agar para remaja terbiasa dengan makanan yang bergizi, yaitu: 1. Mendorong kebiasaan makan yang baik dan memperkenalkan makanan yang bergizi sejak dini 2. Memberikan mereka suatu pilihan dalam makanan daripada memaksa mereka mengonsumsi makanan yang ada di depannya 3. Membatasi menonton TV 4. Mencari cara yang baik untuk memasukkan makanan yang bergizi dalam dietnya 5. Memberikan contoh yang baik pada mereka. Jika remaja melihat orang tuanya rajin mengonsumsi buah dan sayur, merekapun akan mengikutinya.
Sindroma Metabolik Pada Remaja
Istilah sindroma metabolik mulai gencar didengungkan beberapa tahun belakangan ini. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya orang-orang yang mengalami kegemukan (obesitas). Seseorang dikatakan mengalami sindroma metabolik bila ditemukan sedikitnya 3 tanda berikut ini yaitu kadar trigliserida darah yang tinggi, kadar gula darah yang tinggi, kadar kolesterol HDL (kolesterol baik) yang rendah dalam darah, tekanan darah tinggi dan lingkar pinggang yang besar.Remaja yang mengalami berat badan berlebih dan kegemukan, sepertiganya ternyata menderita sindroma metabolik ini. Sindroma metabolik ini akan meningkatkan risiko seseorang untuk menderita penyakit jantung dan kencing manis (diabetes).Dari data yang diperoleh pada tahun 1988 hingga 1994, sebanyak 2000 remaja yang berusia antara 12 hingga 19 tahun di Amerika, terlihat 63% sedikitnya ditemukan satu tanda dari sindroma metabolik dan 9% diantaranya sudah masuk dalam kategori sindroma metabolik. Dan bagaimana dengan remaja di Indonesia? Melihat perkembangan yang ada saat ini, dimana kecenderungan remaja Indonesia yang mengalami obesitas semakin meningkat, tentunya sindroma metabolik ini sudah banyak diderita juga. Hanya seberapa besar presentasenya belum diketahui.Remaja-remaja ini perlu segera mendapat perhatian khusus dan mulai melakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi risiko penyakit-penyakit metabolik tersebut. Karena bukan tidak mungkin suatu hari nanti mereka akan menderita penyakit-penyakit tersebut.
Pencet Jerawat???Perlu gak ya??
PENCET JERAWAT?? PERLU NGGAK YA??
Siapa yang nggak bete kalo kulitnya berjerawat?? Wah..kalau bisa nggak banget deh ya..
Jerawat sudah menjadi masalah yang sering terjadi pada remaja Indonesia. Sebenarnya asal mula sebutan jerawat (acne) adalah dari kata “acme” yang merupakan bahasa Yunani dari tahap hidup yang utama (Prime of life) yang diidentikkan dengan masa remaja. Biasanya jerawat sering muncul khususnya pada remaja yang memiliki tipe kulit berminyak.
Banyak faktor yang memicu timbulnya jerawat. Pertama adalah adanya peningkatan produksi sebum akibat pengaruh hormon, kondisi fisik dan psikologis. Jika disertai sumbatan di muara kelenjar sebasea, aliran keluar sebum akan terbendung. Kedua adalah adanya sumbatan di pori-pori kulit oleh asam lemak (sebum yang dihasilkan oleh kelenjar lemak/sebasea pada kulit wajah) yang berubah menjadi padat. Ketiga peningkatan populasi dan aktivitas bakteri (yang paling sering Propionibacteri acnes) karena bakteri ini terdapat di muara kelenjar sebasea dan mengkonsumsi sebum yang kita hasilkan. Dan yang keempat adalah reaksi inflamasi (radang). Kelenjar sebasea terbendung pada akhirnya akan pecah, dan isi lemak tertumpah ke dalam jaringan kulit dan memancing serbuan sel darah putih karena dianggap sebagai benda asing.
Siapa yang nggak bete kalo kulitnya berjerawat?? Wah..kalau bisa nggak banget deh ya..
Jerawat sudah menjadi masalah yang sering terjadi pada remaja Indonesia. Sebenarnya asal mula sebutan jerawat (acne) adalah dari kata “acme” yang merupakan bahasa Yunani dari tahap hidup yang utama (Prime of life) yang diidentikkan dengan masa remaja. Biasanya jerawat sering muncul khususnya pada remaja yang memiliki tipe kulit berminyak.
Banyak faktor yang memicu timbulnya jerawat. Pertama adalah adanya peningkatan produksi sebum akibat pengaruh hormon, kondisi fisik dan psikologis. Jika disertai sumbatan di muara kelenjar sebasea, aliran keluar sebum akan terbendung. Kedua adalah adanya sumbatan di pori-pori kulit oleh asam lemak (sebum yang dihasilkan oleh kelenjar lemak/sebasea pada kulit wajah) yang berubah menjadi padat. Ketiga peningkatan populasi dan aktivitas bakteri (yang paling sering Propionibacteri acnes) karena bakteri ini terdapat di muara kelenjar sebasea dan mengkonsumsi sebum yang kita hasilkan. Dan yang keempat adalah reaksi inflamasi (radang). Kelenjar sebasea terbendung pada akhirnya akan pecah, dan isi lemak tertumpah ke dalam jaringan kulit dan memancing serbuan sel darah putih karena dianggap sebagai benda asing.
Source: http://remajasehat.com/blog/
Langganan:
Postingan (Atom)